About


Tuesday, November 26, 2013

Biter #1 - Chapter 1

BITER #1 RISE OF THE VIPER
              STORY OF THE BITERS CHARACTER
CHAPTER 1 : DARKNES IN SECTOR 13

            Riyan adalah seorang murit pindahan dari sektor 9. Ia sekarang berada dikawasan sektor 13, dimana dulunya itu adalah Negara Malaysia. Sejak For Freedom menduduki beberapa wilayah di  Indonesia, Malaysia, dan Singapura, mereka mengubah wilayah – wilayah yang dulunya kota menjadi wilayah persektoran.
            Bukanlah pertama kali Riyan pindah. Sudah berkali – kali ia pindah dari sektor – sektor karena sebab yang tidak jelas. Dengan tiga orang temannya yang juga pindahan dari sektor 9, Riyan tidak terlalu ragu menapakkan kakinya di sekolah barunya itu.
            Hari – hari Riyan berjalan seperti biasanya. Ia tidak terlalu memiliki banyak teman. Hanya beberapa teman baru dan tiga orang temannya yang sangat dekat kepadanya. Mungkin ada beberapa alasan yang membuat ketiga temannya itu begitu memperhatikannya. Atau jangan – jangan, mereka ingin tahu apa sebenarnya yang ada dalam diri Riyan yang misterius itu? Bagaimana tidak, ia selalu berpindah sekolah sehari setelah kejadian – kejadian yang menimpa sekolahan yang pernah ia singgahi sebelumnya. Kebanyakan adalah tragedi pembunuhan juga! Pernah juga Riyan ditetapkan sebagai tersangka. Tapi, saat tidak ada bukti tentang Riyan, Riyan pun lolos dari jerat hukum.
            Riyan memang seorang yang misterius bahkan untuk teman – temannya sendiri. Ia dikenal agak pendiam, tapi sebenarnya ia anak yang cerdas. Bayak sekali medali lomba non atletik dari perunggu, perak, bahkan sampai emas ia dapatkan.
            Hari ini hari kebangkitan For Freedom. Pihak FF akan mengadakan lomba antar sektor mulai dari 1 – 17 sektor. Untuk masalah ini, Riyan selalu mendaftarkan diri. Terutama pada lomba – lomba yang bersifat akademik. Untuk urusan non – akademik, Godek jagonya. Ia adalah satu dari tiga teman Riyan yang ikut singgah ke sektor 13. Meskipun berbeda, mereka selalu bersaing memperebutkan juara terbaik disetiap even – even yang diadakan.
            “Ehm....., si jenius datang.” kata Godek sambil tersenyum tipis memergoki Riyan.
            “Wah wah, tumben sigung datang kemari. Ada apa?” balas Riyan mengejek.
            “Aku bukan sigung bodoh!” tempramen Godek mulai naik. “Orang setampan aku kok dibilang sigung.”
            “Ehe....., mimpi kali.” kembali mengejek Godek.
            “Ahh sudah. Kita tentukan besok pada lomba antar sektor. Siapa yang mengantongi medali emas paling sedikit dialah sigung!” kata Godek dengan tatapan miris.
            “Apa kau melupakan kami berdua?” terlihat seorang dari kejauhan yang tak lain dan tak bukan adalah Riwi. Salah satu teman Riyan, tepatnya musuh bebuyutannya dibidang akademik.
            “Yah..., sepertinya kita diabaikan.” kata seorang yang muncul bebarengan dengan Riwi.
            “Woohooo...., adik kakak Aisyah dan Riwi muncul!” kata Godek mengejek.
            Mereka berempat pun saling berperang lidah. Tak jarang mereka berlaku seperti itu. Sebenarnya ini selalu dilakukan setiap ada even dari pihak pusat.
            Saat sedang asyik bertengkar kata – kata, bell masuk pun berbunyi. Segera mereka masuk ke kelas masing – masing. Berbeda dengan keadaan di luar kelas, Rian sangatlah pendiam. Ia selalu memperhatikan pelajaran dengan baik.
            Bell pulang pun berbunyi.
            “Panggilan kepada Rian Hidayatullah ditunggu di kantor urusan sekarang juga.”
            “Eh...., itu ada panggilan untuk mu.” kata Godek.
            “Ah..., masak?” kata Rian.
            “Sekali lagi, panggilan kepada Riyan Hidayatullah ditunggu di kantor urusan sekarang juga.”
            “Ah....iya, betul kamu Dek!” kata Riyan kaget.
            Riyan pun segera menuju kantor urusan secepatnya. Setibanya di kantor urusan, ia terkejut melihat seorang guru terikat pingsan disebuah kursi sofa kantor. Rian segera beranjak keluar karena takut akan terjadi apa – apa. Saat Rian hendak keluar, tiba – tiba saja pintunya menutup  terkunci. “Tolong....! kata Riyan panik. Dengan sekuat tenaga ia mencoba untuk membuka pintu itu. “Tolong...! teriaknya berulang kali.
            Duk....duk...duk terdengar suara derap kaki dari balik almari membuat Rian makin takut akannya. Sesosok pria muncul dari balik almari itu.
            “Siapa kau?” kata Rian gemetar.
“Jangan takut padaku. Aku tidak bermaksud jahat” kata orang aneh itu.
“Lantas..., kenapa kau ikat guruku!” bentak Rian.
“Tentu saja karena ini rahasia!” jawab orang itu.
“Sekarang dengar baik – baik. Salah seorang temanmu adalah anggota For Freedom. Mereka ingin membunuhmu!” kata orang itu.
“Bagaimana aku bisa percaya?” Tanya Rian.
“Ini memang sulit tapi terserah kamu.” kata orang itu. “Ada yang datang! Bersikaplah biasa.”
Orang aneh itu pun segera bersembunyi kembali. Tak lama kemudian seseorang datang. Rasa ketakutan Rian terobati saat ia tahu bahwa yang datang itu adalah temannya sendiri.
“Syukurlah kau datang Budi! Aku sangat ketakutan tadi.” kata Rian lega.
“Memang ada apa Rian?” Tanya Budi serius.
“Ada seseorang yang aneh tadi kemari. Dia juga menyekap pak Jemskin.” kata Rian.
Tiba – tiba Budi bersikap agak aneh. Ekspresinya berubah serius saat memandang Rian.
“Ada apa Bud?” tanya Rian penasaran.
“Tidak. Apa orang tadi membicarakan sesuatu?” Budi berbalik menanyai Rian.
“Em..., iya! Katanya salah satu dari teman kita ada yang bekerja untuk For Freedom. Aku tak tahu apa itu For Freedom tapi, aku yakin teman kita baik – baik semua!” kata Rian yakin.
“Rian, ikutlah denganku sebentar.” kata Budi sambil memegang tangan Rian.
“Tapi pak Jems?” tanya Rian.
“Sudah lupakan dulu. Ada yang lebih penting!” kata Budi memaksa.
            Budi membawa Rian menuju halaman belakang sekolah. Tak disangka, Godek, Riwi dan Aisyah, ada disana. Mereka bertiga terlihat seperti sudah menunggu Rian dari tadi. Perasaan Rian mulai kacau. “Apa benar kata orang tadi?” bisik hati kecilnya. Budi membawa Rian ke tengah halaman belakang sekolah dan melemparkannya.
            “Uwaaa....,” Rian terpelanting.
            Brukk...., Rian terpelanting jauh ke tengah halaman belakang sekolah. “Aduh...!” Rian merintih kesakitan.
            Tak disangka, teman – teman yang selama ini ia percaya sekarang malah menganiaya dirinya.  Hati kecil Rian mulai yakin dengan apa yang dikatakan orang misterius barusan. Ia sekarang dalam bahaya besar. Saking deg – degannya, Rian tak menyadari bahwa lutut kanannya berdarah akibat peristiwa barusan. Rian yang terpojok dan tidak tahu apa – apa ini makin khawatir dengan teman – temannya itu.
            “Apa yang orang barusan orang itu katakan Rian?” Budi kembali mendekati Rian.
            Rian hanya tercengang merasa ketakutan. Tubuhnya yang mulai mendingin itu tak bisa digerakkan sama sekali.
            “Rian...Rian. Bodohnya kamu bertemu dengan kami.” kata Godek.
            Rian hanya bisa tertegun melihat perilaku dingin temannya. Ia hanya bisa pasrah dengan apa yang akan terjadi selanjutnya.
            “Dengar baik – baik Rian! Kami tak kan membunuhmu jika kau memberi tau orang yang barusan!” kata Budi menyorot tajam mata Rian.
            “......” Rian tetap terdiam.
            “Kau tuli apa bisu sih?” kata Riwi dengan nada sinis.
            “Ini membuang – buang waktu!” Godek mulai emosi.
            “Baiklah kalau begitu. Jika kau tak memberi tau kami siapa sebenarnya orang tadi, nikmatilah kematianmu!!!” kata Budi yang mulai panas dengan tingkah laku Rian.
            “Biar aku yang mengeksekusi dia! Aku akan menikmati ini.”
            Godek berjalan perlahan menuju Rian. Rian merasa putus asa. Tidak ada gunanya lagi ia menghindar. Lagi pula, tubuhnya yang ketakutan itu tidak dapat digerakkan sama sekali.
            “Apa kau takut sigung?” kata Godek mengejek Rian.
            “Selesaikan dengan cepat! Kita akan segera kembali ke markas. Dan jangan lupa, jangan sampai ada barang bukti sekecil apapun!” kata Aisyah.
            “Yah..., aku tidak bisa bermain – main denganmu deh! Tapi tak apa lah. Akan kubunuh dalam lima menit!”
            Tubuh Rian mulai berguncang keras seperti menggigil. Bibirnya yang dingin tak lagi bisa mengatakan sepatah kata sekalipun.
            Duummm! “Uwaaa!”
            Godek terpelanting tiba – tiba. Sesosok pria muncul dari balik debu yang beterbangan. Budi, Aisyah, dan Riwi mengambil posisi siaga.
            “Nah..., maaf aku terlambat. Namaku Joe Sebastian. Salam kenal!”
Terlihat ekspresi orang asing itu tak takut sama sekali dengan kondisi genting yang dialami Rian sekarang.
Greeeng....grenggreng, terdengar suara motor dari lorong sekolahan. Budi dan yang lainnya terkejut melihat seorang pengendara yang terbakar berjalan bebas menuju mereka.
“Stanly..., kau terbakar lagi!” kata Joe.
“Iya kah? Nah sekarang menjadi imbang tiga lawan empat!” kata Stanly.
“Hey kita masih kalah jumlah bodoh!” teriak Joe kepada Stanly.
“Dimana Dominique?” tanya Stanly kepada Joe.
“Siapa kalian?” sela Rian penasaran.
Budi dan temannya mulai terpojok. Apalagi Godek yang terluka akibat peristiwa barusan semakin mengharuskan mereka untuk melarikan diri. Mereka juga tidak tau – menau soal kedua orang tersebut. Mereka juga mendengar akan ada satu lagi orang yang akan datang. Akhirnya mereka memutuskan untuk kembali ke markas.
“Stanly..., kau terbakar! Kita tak kan berperang kali ini.” kata Joe.
“Wooooi, Joe! Mereka lari!” kata Stanly panik.
“Stanly..., api dikepalamu semakin membesar!” kata Joe bercanda.
“Sudahlah! Mereka akan kabur bodoh.” kata Stanly marah.
“Tak apa, biarkan mereka pergi! Misi kita sudah selesai.” kata Joe dengan nada yang tenang seakan tak takut akan apa yang akan terjadi selanjutnya.
“Hey semua, aku datang! Kalian pasti menunggu meminta bantuanku kan! Loh, kemana musuhnya? Apa mereka pergi seiring dengan datangnya aku? Hahahah, aku memang hebat! kata Dominique yang baru saja datang dan membawa berbagai makanan ditangannya.
“Kauuuuu! seru Joe dan Stanly bersamaan.
“Apa?” kata Dominique bingung.
Gravity Pounch!” Joe memukul Dominique dengan sekuat tenaga. Disusul Stanly yang juga ingin melampiaskan kemarahannya. “Burning Preasure!” kata Stanly sambil mengeluarkan api biru tepat di depan wajah Dominique.
“Uwaaaaa!” teriak Dominique terpental sangat jauh.
“Kenapa kau lakukan itu padaku?” protes Dominique.
“Kau tak tau apa kesalahanmu?” kata Joe makin kesal.
Joe dan Dominique akhirnya bertarung. Saking kesalnya, beberapa jurus Joe hampir mengenai Rian.
“Sudah cukup kalian berdua! Kayak anak kecil saja!” seseorang lagi muncul dengan tiba – tiba. Pertempuran langsung mereda setelah orang itu datang. Sikap Joe dan Dominique berubah seketika. Mereka menjadi se-cool mungkin untuk mengubah suasana.
“Yah, misi sudah selesai. Ayo kembali ke markas.” Kata Joe sok cool.
“Ok, kita bawa dia!” kata Dominique serius.
“Hey, pakai bahasa yang baku teman – teman!” bisik Stanly.
Mereka bertiga terlihat mengabaikan orang tadi. Hal itu membuatnya marah.
“Jangan abaikan aku bodoh!” kata orang itu marah.
“Tak patut! Kau tidak boleh marah – marah!” kata Joe dengan tenang makin membuat marah orang itu.
“Hedeh, terserah!” kata orang itu yang merubah ekspresi seketika.
Rian merasa bingung dengan mereka ber-empat. Tidak seperti teman – temannya yang ia kenal selama ini. Entah mengapa, perasaan Rian sangat gembira. Tiba – tiba Rian tertawa terbahak – bahak. Kelakuan ke-empat orang aneh itu menurut Rian sangat lah lucu.
Hal itu tentu saja membuat ke-empat orang itu merasa aneh terhadapnya. Serentak, mereka menoleh memperhatikan Rian. Rian pun berubah ekspresi.
“Ini sangat......rumit?” kata Rian bingung dengan apa yang akan dikatakannya.
“Hahahahahah!” ke-empat orang itu tertawa terbahak – bahak. Rian makin betah dengan mereka. Entah mengapa mereka terasa seperti teman. Baru pertama kali ia merasa setenang ini. Meskipun Rian tidak mengenal mereka, mereka terasa dekat dengannya.
“Eh..., Rian! Kaki kananmu berdarah!” kata Dominique.
“Ha...?” melihat ke kaki kanannya.
            Deg deg, detak jantung Rian makin cepat. Ekspresi Rian berubah menakutkan. Tiba – tiba saja ia mengeluarkan senjata aneh mirip tongkat satpam tapi ujungnya runcing. Ia menyerang membabi buta. Semuanya hanya terlihat gelap baginya.
            “Apa yang terjadi?” teriak Joe.
            “Apa kita boleh bermain – main?” ujar Stanly.
            “Syndrome!” kata Raffael.
            “Apa maksudmu?” tanya Joe penasaran.
            “Dia memiliki penyakit syndrome. Penyakit kejiwaan yang memberikan response berlebih ketika melihat atau merasakan spesifikasi syndromenya. Mungkin, Rian syndrome pada darah. Saat ia melihat darahnya, tiba – tiba saja ia berubah seperti ini. Kekuatannya keluar tak terkendali.”
            “Apa yang kita lakukan?” Joe kembali bertanya.
            “Nah, sudah selesai!” kata Raffael sambil membawa Rian di punggungnya.
            “Uwaaa, sejak kapan kau...? Tapi tadi kau....?” kata Joe bingung.
            “Sudahlah, ayo kembali ke markas!” seru Raffael.
            Joe merasa terkagum sekaligus terkejut bukan main melihat Raffael. Ia masih tidak mengerti akan kekuatan Raffael. “Siapa dia?” ujarnya dalam hati.
            Malam yang panjang terasa sangat cepat. Mereka bergegas kembali ke markas. Rian masih tak sadarkan diri. Sesampainya di markas, Raffael segera menempatkan Rian di tempat tidur yang nyaman. Ia lekas keluar setelah meletakkan Rian.
            Raffael memang biasa keluar markas sendirian. Kali ini, Joe mengikuti Raffael kemana ia pergi. Berjalan melewati pepohonan di sebuah hutan membuat Joe makin penasaran.
            Sampailah mereka disebuah rumah kecil yang sepi. Raffael beranjak masuk ke dalam rumah tersebut. Joe segera mengikuti Raffael masuk ke dalam rumah tua yang penuh dengan tanaman merambat itu. Saat ia di dalam, Raffael hilang dari pandangannya. “Kemana dia?” bisiknya dalam hati mencoba tidak ia keluarkan.
            “Joe...? Apa yang kau lakukan disini? tanya Raffael yang tiba – tiba ada dibelakang Joe.
            “E..., enggak! Aku hanya mengikutimu.” kata Joe.
            “Kenapa kau disini? Lagian, tidak ada seorangpun disini.” Joe berbalik bertanya.
            “Ini dulunya rumah kami!” kata Raffael. Ia terlihat sedih saat mengatakannya.
            “Siapa maksudmu kami?” Joe kembali bertanya.
            “Teman – temanku. Tapi, mereka sekarang sudah tiada.” kata Raffael sedih.
Terlihat ekspresi sedih yang mendalam dari Raffael begitu jelas. Tak pernah sekalipun Joe melihat Raffael seperti ini. Ia merasa ada rahasia dibalik semua ini. “Siapa dia?” tetap pertanyaan yang sama masih tersimpan di dalam hatinya. Tapi Joe mencoba percaya kepada Raffael. Ia yakin bahwa Raffael memiliki tujuan yang baik untuk bergabung dengannya.
“Nah, karena kau sudah sampai disini, akan kutunjukkan sesuatu kepadamu Joe! Ikut aku!” kata Raffael mengajak Joe ke suatu tempat.
“Kita akan kemana?” tanya Joe penasaran dengan Raffael.
“Sudahlah, ikut saja!” kata Raffael memaksa.
Tak begitu lama, mereka tiba disebuah tempat yang indah. Air terjun mengalir deras. Batu – batu yang ada di dasar air terjun memancarkan sinar kehijau – hijauan. Joe merasa takjub akan apa yang ia lihat malam itu.
“Woooow! Indahnya!” kata Joe takjub.
“Dulu, kami sering kesini. Bermain dan tertawa bersama.” kata Rafael dengan nada datar.
“Raffael, maaf ya! Aku tak bermaksud seperti ini. Aku tak tahu kalau kamu rindu temanmu. Kukira kamu akan kemana!” Joe merasa bersalah telah mengikuti Raffael.
“Tak apa! Aku senang kau bersamaku disini. Sudah sangat lama aku tak kesini.” Raffael tersenyum kepada Joe.
“Nah, aku akan kembali ke markas. Apa kau masih mau disini?” kata Joe mengajak Raffael kembali.
“Tidak. Ini sudah cukup. Ayo kembali!” kata Raffael senang.
Mereka berduapun kembali ke markas. Terlihat Stanly dan Dominique sudah tidur terlebih dahulu. Joe menyusul mereka berdua dan lekas tidur. Sedangkan Raffael masih di luar melihat bintang – bintang yang indah.
“Ohh, kau datang! Ada apa?” Raffael terlihat sudah menunggu orang ini.
“For Freedom! Mereka mencari Rian.” Kata orang aneh itu.
“Tenang saja, dia ada bersamaku! Apa kau jadi bergabung dengan kami?” kata Raffael.
“Jangan sok akrab padaku! Mereka seorang biter, aku tak sudi bersama orang licik seperti mereka!” orang itu menyorot tajam Raffael.
“Jadi..., apa kau akan kembali ke Viper?” kata Raffael dengan nada mengejek.
“Entahlah. Tapi, kenapa kau bergabung dengan mereka? Mereka hanyalah biter biasa!” kata orang itu.
“Bukan. Mereka unik bagiku! Mereka temanku.” kata Raffael mencoba menaruh harapan pada mereka.
“Aku akan memikirkan tawaranmu Raffael! Sampai jumpa.” kata orang itu dan lekas menghilang.
Orang itu beranjak pergi meninggalkan Raffael. Raffael pun juga beranjak masuk dan lekas tidur. Satu yang masih terbayang – bayang dibenaknya. Seseorang yang ia lihat sewaktu menuju ke sekolahan Rian terasa tidak asing baginya. Hal itu membuatnya sedikit gelisah. Ia berusah tidak terlalu memikirkannya. Yang terpenting sekarang ia harus segera istirahat.







**********

0 komentar:

Post a Comment

NO SARA
NO ribut
dan no coment :D